Sabtu, 30 April 2011

Perjanjian

Nama : Endang Kusumawati
NPM : 25209230
Kelas : 2EB11
MatKul : Aspek Hukum dalam Ekonomi
Tulisan
Perjanjian
Ditinjau dari sudut Hukum Privat dan Hukum Publik
• Dari Sudut Hukum Privat
1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian sudah tidak asing lagi bagi kita, karena hampir sebagaian besar aktivitas kita menjadikan perjanjian sebagai suatu sarana untuk berbisnis atau bertransaksi. Untuk lebih jelasnya memahami apa sesungguhnya perjanjian itu, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya untuk melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan UU hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarkat.
Dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Maksudnya adalah perjanjian suatu recht handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tujuan agar timbul akibat hukum, dengan demikian suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik atau bila teral maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban yang merupakan kensekwensi dari hak-hak yang diperolehnya.

2. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata:

A. SEPAKAT MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRI;

Menurut Maris Feriyadi (2007) sepakat adalah pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan kehendak pihak yang lain dan kehendak tersebut harus diberitahukan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak tersebut adalah mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian, kata sepakat dari para pihak tersebut harus dinyatakan dalam keadaan bebas artinya tidak adanya cacad kehendak.
B. CAKAP UNTUK MEMBUAT SUATU PERJANJIAN;

Menurut KUHPerdata yang disebut orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
orang-orang yang belum dewasa;
mereka yang berada di bawah pengampuan;
orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu.
Orang yang belum dewasa menurut ketentuan Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan.
Secara a contrario dapat dinyatakan bahwa sudah dewasa menurut KUHPerdata adalah sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah. Namun menurut ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ditentukan bahwa belum dewasa adalah anak yang belum mencapai usia 18 tahun.

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut dapat diketahui secara a contrario bahwa seseorang dikatakan sudah dewasa apabila sudah berumur 18 tahun atau lebih. Menurut ketentuan Pasal 443 KUHPerdata setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Dan seorang dewasa dapat pula ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya.Seorang perempuan bersuami tidak boleh melakukan perbuatan hukum tertentu tanpa izin dari suaminya diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, maka ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 31 (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan di rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, saat ini seorang wanita yang telah bersuami boleh melakukan perbuatan hukum tanpa harus mendapat ijin terlebih dari suaminya.

Akibat hukum dari ketidakcakapan dalam membuat perjanjian adalah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlakubagi pihak-pihak.

C. MENGENAI SUATU HAL TERTENTU;

Dalam perjanjian, suatu hal tertentu merupakan obyek dari perjanjian, dimana suatu pokok perjanjian diadakan. Di dalam suatu perjanjian obyek perjanjian harus tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan

D. SUATU SEBAB YANG HALAL

Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa kausa atau sebab yang halal adalah apabila keadaan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

• Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1320 BW yaitu :
* Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut, adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW), adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
* Cakap untuk membuat perikatan
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
* Orang-orang yang belum dewasa
* Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
* Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
* Suatu hal tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
* Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

3. Berakhirnya Perjanijian
Di dalam KUHPerdata mengatur juga tentang berakhirnya suatu perikatan. Cara berakhirnya perikatan ini diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata yang meliputi:

A. berakhirnya perikatan karena undang–undang :
1. konsignasi;
2. musnahnya barang terutang;
3. daluarsa.

B. berakhirnya perikatan karena perjanjian dibagi menjadi tujuh yaitu:
1. pembayaran;
2. novasi (pembaruan utang);
3. kompensasi;
4. konfusio (percampuran utang);
5. pembebasan utang;
6. kebatalan atau pembatalan, dan
7. berlakunya syarat batal.

Disamping ketujuh cara tersebut, dalam praktik dikenal pula cara berakhirnya
perjanjian (kontrak), yaitu:
1. jangka waktu berakhir;
2. dilaksanakan obyek perjanjian;
3. kesepakatan kedua belah pihak;
4. pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan
5. adanya putusan pengadilan

Sumber : Tesis Maris Feriyadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar