Jumat, 02 November 2012

Artikel GCG, CSR, dan IFRS


Nama: Endang Kusumawati
NPM : 25209230
Kelas : 4EB11
Tulisan Artikel GCG, CSR, dan IFRS     

Artikel GCG kasus Bank
Pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Seiring dengan perkembangan yang  cepat tersebut, satu hal perlu dicermati adalah aspek Good Coorporate Govarnance (GCG) karena terkait dengan berbagai macam resiko kerugian yang jika tidak diperhatikan akan merusak citra syariah di masa depan dan menjerumuskan bank syariah ke jurang kehancuran.
Bank syariah yang semakin mekar tersebut, wajib dicegah dari  berbagai resiko kerugian, baik kerugian finansial maupun resiko reputasi. Dr. Muliaman D Hadad, Deputy Gubernur BI, berkali-kali mengingatkan pegiat bank syariah agar ekstra keras mengawal bank syariah dari kemungkinan buruk di masa depan. Sekali sebuah  lembaga perbankan syariah bermasalah , maka citra bank syariah akan rusak. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, dibutuhkan biaya besar dan waktu yang panjang.
Prof. Dr M.Umer Chapra dalam buku Corporate Governance for Islamic Banking, menekankan pentingnya  penerapan Good Corporate Governance yang efektif di lembaga keuuangan syariah.  GCG adalah pilar penting yang harus diciptakan untuk mewujudkan bank syariah yang unggul dan tangguh. Penerapan  GCG semakin penting, karena konsep bank syariah menggunakan risk sharing.
Menurut Umer Chapra, diantara sarana pendukung corporate governance  yang terpenting adalah kontrol internal, manajemen resiko, tranparansi, akuntansi dan disclosure pembiayaan, pemurnian dan audit syariah, regulasi dan pengawasan yang prudent.
Pelaksanaan good corporate governance pada industri perbankan syariah berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi  (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan paksanaan petanggung jawabanorgan bank sehingga pengelolanya berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggung jawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelola bank dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsi-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, profesional (professional), yaitu memiliki kompetensi, mampu bentindak obyektif dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Kelima, kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan perjanjian peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan dan persyaratan yang terkait dalam pelaksanaan Good Corvorate Governance. Selain itu dalam pelaksanaan Good Corporate Governance, industri perbankan syariah juga harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance). Ketidak sesuaian tata kelola bank dengan prinsip syariah akan berpotensi menimbulkan berbagai risiko terutama risiko reputasi bagi industri perbankan syariah.
Pelaksaaan Good Corporate Governance perbankan syariah tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh pengelolaan bank yang sesuai dengan lima prinsip dasar dan sesuai dengan prinsip syariah, akan tetapi juga di tujukan untuk kepentingan yang lebih luas. Kepetingan ini antara lain adalah untuk melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum pada industri perbankan syariah.
Untuk penerapan GCG yang efektif di lembaga perbankan syariah, maka Bank Indonesia mengeluarkan peraturan baru, yaitu PBI Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009  tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. PBI ini mulai diberlaukan terhitung sejak 1 Januari 2010.
Sumber: http://www.agustiantocentre.com
Artikel CSR kasus Pertamina
Program CSR Pertamina Peduli di Siantar
Pematangsiantar, (Analisa). Memenuhi program corporette sosial reponsibility (CSR),Pertamina Terminal BBM Pematangsiantar membantu warga dengan menggelar pelatihan dan keterampilan bagi ibu rumahtangga di Kelurahan Banjar Jalan Bolakaki Pematangsiantar, Selasa(3/7) siang.
Mengawali pelaksanaan, OH Pertamina Terminal Pematangsiantar Suwardi menyebutkan di hadapan 100 peserta kaum ibu, acara tersebut merupakan salah satu point dalam agenda Pertamina Peduli, khusus kepada warga masyarakat terutama yang berada di lingkungan lokasi Pertamina.

Pelatihan dan keterampulan kali ini membuat kue kering dan kerupuk diharapkan dapat bermanfaat,dikarenakan ilmu yang diperoleh dapat dikembangkan baik secara person maupun kelompok, sekaligus membantu beban ekonomi rumahtangga.

Dalam kesempatan itu pula Suwardi mengingatkan kepada peserta tentang bahaya kebakaran berasal dari kompor, baik kompor minyak maupun kompor gas.

Progam Pertamina Peduli, Pertamina Pematangsiantar melakukan bantuan empat bidang yakni Pendidikan, Kesehatan, Pelatihan dan Keterampilan, plus olahraga dan nantinya membantu dibidang lingkungan hidup.

Disebutkannya, dana yang dikucurkan untuk kegiatan pelatihan dan keterampilan tersebut sebesar Rp 15 juta, untuk olahraga yang dalam hal ini difokuskan terhadap olahraga futsal yakni berupa peralatan/perlengkapan futsal dan seragam Rp10 juta.

Berkaitan dengan sarana /lapangan futsal,disebutkan telah tersedia yang kesemuanya itu merupakan bantuan dari Pertamina.

Lurah Banjar Saiful Rizal mengucapkan terimakasih terhadap pihak Pertamina yang telah membantu warganya, kali ini melakukan pelatihan dan keterampilan cara membuat empat menu, di antaranya membuat kue kering dan kerupuk dipimpin instrukturnya L boru Situmorang, guru pendidik SMKN-3 Bringin Sinaksak.



Artikel IFRS

IFRS Sebagi Standar Tunggal Pelaporan Keuangan

International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar, interpretasi, dan kerangka yang diadopsi oleh badan penyusun standar akuntansi internasional yang dikenal dengan International Accounting Standards Board (IASB).
Beberapa standar yang membentuk IFRS dulunya dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS). IAS diterbitkan oleh suatu badan yang dikenal dengan International Accounting Standards Committee (IASC) pada kurun waktu antara tahun 1973-2001. Hingga Maret 2002, IASC telah menerbitkan 41 IAS dan 34 SIC (Standing Interpretations Committee) Interpretations. Beberapa di antaranya telah diubah atau diganti oleh IASB. Standar yang masih tersisa dipandang sebagai payung bagi IFRS.
Sepanjang tahun 1999-2000, IASC melakukan restrukturisasi (dengan mengubah konstitusi, strategi, struktur dan nama). IASC berkeinginan untuk menjadi badan akuntansi yang lebih independen dan profesional. Pada Maret 2001, IASC Trustees mengaktifkan Part B dari IASC Constitution yang baru dan menetapkan non-profit Delaware corporation yang diberi nama International Accounting Standards Committee Foundation untuk mengawasi IASB. Pada April 2001, IASB yang baru mengambil alih tanggung jawab IASC dalam menetapkan International Accounting Standards.
IASB berkeinginan untuk membentuk satu standar pelaporan keuangan global yang berkualitas. Selama pertemuan pertamanya, badan yang baru tersebut mengadopsi IAS dan SIC (Standing Interpretation Committee) yang ada. IASB terus mengembangkan standar yang disebut dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Jadi IFRS adalah termasuk standar dan interpretasi yang disetujui oleh IASB serta IAS dan SIC Interpretations yang diterbitkan berdasarkan konstitusi sebelumnya.
IFRS terdiri dari:
.International Financial Reporting Standards (IFRS) – standard yang diterbitkan setelah 2001
.International Accounting Standards (IAS) – standard yang diterbitkan sebelum 2001
.Interpretasi yang berasal dari the International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) – diterbitkan setelah 2001
.Standing Interpretations Committee (SIC) – diterbitkan sebelum 2001
Prinsip-prinsip yang mendasari IFRS dijelaskan dalam Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements (Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan)
IFRS merupakan kesepakatan global standar akuntansi yang didukung lebih dari 100 negara dan badan-badan internasional di dunia. Globalisasi aktivitas ekonomi mengharuskan informasi keuangan berkualitas tinggi dan dapat diperbandingkan secara internasional.
Efektif sejak 1 Januari 2005, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di 15 negara Uni Eropa diharuskan untuk menyajikan laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS (sejak tahun 2003, standar-standar yang baru disebut sebagai IFRS). Hal ini merupakan perubahan terbesar di Eropa dalam beberapa dekade terakhir ini yang mempengaruhi lebih dari 7.000 perusahaan di Uni Eropa yang akan menyusun laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan IAS. Dibandingkan pada tahun 2001, hanya 275 perusahaan di Uni Eropa yang menggunakan IAS dalam penyusunan laporan keuangannya dan 300 perusahaan menggunakan US GAAP.
Sejak tahun 1994, profesi akuntansi di Indonesia, melalui Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), telah berkomitmen untuk melakukan harmonisasi terhadap IFRS. Sejak itu, sebagian besar PSAK yang diterbitkan didasarkan pada IFRS. Jadi, pada dasarnya IFRS telah mempengaruhi dunia usaha di Indonesia sejak 1994.
Pada akhir tahun 2008, IAI telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh pada tahun 2012. Selain itu, pada tahun 2009, negara-negara anggota G-20 telah membuat kesepakatan di Pittsburg, Amerika Serikat yang di antaranya menyatakan bahwa untuk mengurangi kesenjangan peraturan di antara negara-negara anggota G-20, maka otoritas yang mengawasi peraturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota G-20 tunduk pada kesepakatan global untuk melakukan konvergensi IFRS.
Oleh karena itu, mulai tahun 2009, DSAK-IAI mencanangkan proses konvergensi sampai tahun 2011 dengan target pada tahun 2012, seluruh PSAK tidak memiliki beda material dengan IFRS yang berlaku per 1 Januari 2009. Dan setelah tahun 2012, DSAK-IAI akan terus memperbaharui PSAK jika ada perubahan pada IFRS yang terkait.
Principles Based
IFRS merupakan seperangkat standar yang “berdasarkan prinsip” (principles based) yang menetapkan aturan umum dan menentukan peraturan khusus. Sedangkan US GAAP merupakan standar yang “berdasarkan aturan” (rule based atau regulation based). IFRS menitikberatkan pada prinsip yang dijelaskan dalam kerangka konseptual IASB, bukan pada aturan yang terinci. Berbeda dengan US GAAP, yang pada umumnya memuat persyaratan-persyaratan lebih khusus dan pedoman impelementasi yang rinci.
Pendekatan IASB yang memfokuskan pada prinsip tersebut mengharuskan perusahaan dan auditor untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk kepentingan publik. Perusahaan harus menyajikan laporan keuangan yang menyajikan dengan sebenarnya (faithful representation) seluruh transaksi yang terjadi. Auditor juga harus resisten terhadap tekanan klien.
Pelaporan keuangan yang didasarkan pada US GAAP, sebagian besar juga didasarkan pada prinsip, namun disertai dengan aturan dan regulasi yang rinci. Oleh karena itu, US GAAP disebut sebagai standar yang “berdasarkan aturan” (rule based). US GAAP menetapkan persyaratan-persyaratan yang lebih khusus dan memberikan pedoman implementasi yang lebih rinci. Pedoman rinci ini menguntungkan perusahaan, auditor, dan regulator pasar modal. Bagi perusahaan, pedoman rinci akan mengurangi ketidakpastian dalam memperlakukan suatu transaksi. Bagi auditor, persyaratan-persyaratan khusus akan membatasi perselisihan dengan klien dan merupakan pembelaan jika terjadi proses pengadilan. Regulator menggunakan pedoman rinci sebagai alat untuk menegakkan peraturan.
Karena fokus pada prinsip ini, maka pihak-pihak yang meyakini keunggulan US GAAP berpendapat bahwa penerapan IFRS memerlukan terlalu banyak interpretasi. Sebaliknya, pendukung IFRS berpendapat bahwa banyaknya pedoman yang dikeluarkan FASB juga tidak mampu mencegah Enron dalam menghindari aturan akuntansi. Enron adalah perusahaan yang mendirikan entitas bertujuan khusus (special purpose entity) yang tidak dikonsolidasikan dalam laporan keuangan (Enron menggunakan US GAAP). Kegagalan untuk mengkonsolidasikan entitas tersebut diyakini sebagai isu terpenting dalam penyajian kembali laporan keuangan Enron.
Standar akuntansi yang berkualitas sangat diperlukan untuk membantu pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber dayanya. Alokasi sumber daya sangat tergantung pada informasi keuangan yang mempunyai kredibilitas tinggi dan dapat dipahami. Standar akuntansi harus mampu menyakinkan investor bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan menunjukkan gambaran kinerja dan posisi perusahaan yang sebenarnya. Skandal Enron mengindikasikan perlunya reformasi sistem pelaporan keuangan secara global.
Adopsi IAS atau IFRS tersebut tentunya akan berdampak pada pelaporan keuangan khususnya berkaitan dengan pengakuan dan pengukuran, serta berkaitan dengan konsolidasi dan pelaporan. Salah satu perubahan pengakuan dan pengukuran yang utama adalah semakin luasnya penggunaan prinsip nilai wajar (fair value) dibandingkan dengan biaya historis. Nilai wajar adalah harga yang akan diterima atas penjualan suatu aset atau harga yang akan dibayar atas pengalihan liabilitas (kewajiban) dalam suatu transaksi antar partisipan pasar pada saat tanggal pengukuran. Jadi, konsep nilai wajar menitikberatkan pada arus kas kini dan arus kas yang diekspektasikan. Konsep nilai wajar tidak menekankan pada harga beli historis. Misalnya, amortisasi goodwill dievaluasi setiap periode berdasarkan arus kas yang didiskontokan (discounted cash flows).
Adopsi IFRS akan berdampak pada perubahan pelaporan keuangan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia akan mengubah format laporan keuangannya, dan investor akan melihat perubahan tersebut. Demikian juga dengan merger dan akuisisi, kebijakan pajak, dan perencanaan keuangan juga akan terpengaruh.
Dengan tambahan margin penjualan listrik subsidi dari lima persen menjadi delapan persen, laba bersih PT PLN tahun 2010 bisa melesat jauh melampaui tahun 2009. Namun meningkatnya beban bunga, berkurangnya untung dari selisih kurs, serta beban lain-lain menyebabkan laba bersih PLN tergerus hingga 2,5%. Jika tahun 2009 laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 10,355 triliun, laba tahun 2010 mentok di angka 10,086 triliun.
Toh situasi tersebut, ditambah iklim kerja yang berkembang makin baik, telah memacu seluruh jajaran PLN untuk bekerja makin keras dan profesional. Maka wajar saja jika kemudian Dahlan Iskan memanfaatkan momentum itu untuk mengubah tagline PT PLN. Semula tagline yang sudah dipakai bertahun-tahun adalah Electricity for a Better life, Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Dahlan menggantinya dengan semboyan baru Bekerja Bekerja Bekerja!
Slogan yang digagas Dahlan tersebut mampu meneguhkan fokus pada orientasi perusahaan, bahwa tugas utama sebagai korporasi adalah bekerja untuk melayani.
Di tengah semangat tinggi seluruh jajaran PLN untuk unjuk kerja itulah Dahlan Iskan harus pergi. Maka ketika para calon menteri menebar senyum setelah dipanggil Presiden, Pak Dis ?begitu ia suka dipanggil, akronim dari Dahlan Iskan- justru menangis. “Saya menangis karena harus meninggalkan teman-teman di PLN yang sedang semangat-semangatnya bekerja,” ucapnya.
Harapan Presiden, juga publik dan stakeholders BUMN, agar semangat serupa bisa ditularkan kepada BUMN yang lain. Dahlan tidak mengusung slogan dan konsep besar yang hanya menarik di meja diskusi. Dia mengajak semua orang untuk menyederhanakan persoalan dan bekerja untuk mengatasinya.
Tim BUMN Track
http://www.bumntrack.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar